Senin, 01 Agustus 2011

Strategi Pengembangan TIK di Indonesia Menuju Kemandirian


Added: Wednesday, April 23rd 2008 at 12:28pm by artikelekoindrajit
Related Tags: technology, computers

2.5 / 0 ratings 

 
Pengantar
Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah menjadi primadona di era globalisasi saat ini. Tingginya kebutuhan dan penetrasi perangkat digital dalam berbagai aspek kehidupan manusia secara tidak langsung telah menciptakan sebuah industri raksasa di bidang teknologi digital yang melibatkan hampir seluruh bangsa-bangsa besar di dunia, dengan nilai bisnis yang dari hari ke hari meningkat secara eksponensial. Ragam hasil berbagai studi dan riset yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara perkembangan industri TIK dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara - yang direpresentasikan dengan relasi atau kontribusi positif antara pertumbuhan industri TIK dengan peningkatan GDP (Gross Domestic Product) – semakin memperlihatkan betapa penting da base/lib/tiny_mce_3_0_4_1/themes/advanced/langs/en.js" type="text/javascript"> // --> n strategisnya peranan industri tersebut dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat suatu negara. Sehingga tidaklah heran jika mpir seluruh cetak biru pembangunan sebuah negara selalu meletakkan TIK sebagai salah satu pilar pembangunan yang penting untuk diperhatikan kinerjanya.

Sumber: International Data Center, 2006

Sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia pun telah meletakkan TIK sebagai salah satu komponen penting pembangunan nasional[1]. Didirikannya Departemen Komunikasi dan Informatika di Indonesia - yang tugas utamanya adalah merencanakan, mengkoordinasikan, membangun, menerapkan, mengembangkan, memelihara, dan mengawasi pengembangan industri TIK di tanah air demi peningkatan kesejahteraan masyarakat - memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam memposisikan dan mengelola TIK secara sungguh-sungguh. Adapun tantangan terbesar yang saat ini dihadapi oleh seluruh komponen bangsa adalah rendahnya tingkat akselerasi pertumbuhan TIK di tanah air, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara tetanggadi benua Asia lainnya. Rendahnya percepatan pertumbuhan ini secara relatif menurunkan tingkat daya saing nasional Indonesia dibandingkan negara-negara raksasa Asia seperti China, India, Jepang, Taiwan, dan Korea maupun negara-negara tetangga lainnya seperti Singapura dan Malaysia[2].

Tanda tanya besar yang kerap menghantui para praktisi TIK di tanah air adalah mengapa negara yang dahulu pernah menjadi salah satu pelopor dan pionir di bidang TIK di kawasan Asia Tenggara justru menjadi yang “terbelakang” di saat perkembangan industri TIK global sedang menemukan momentumnya (baca: masa keemasan)? Pertanyaan sederhana ini membutuhkan permenungan yang cukup manjang dan introspeksi yang cukup mendalam untuk menjawabnya. Namun dengan berpegang pada berbagai analisa dan hasil studi para pakar di bidang TIK, terutama dalam menjawab penyebab lambatnya pertumbuhan industri ini di tanah air, maka dapat disusun sebuah strategi ampuh untuk mengembangkan di Indonesia dalam rangka menuju kemandirian untuk meningkatkan daya saing bangsa.

Peluang Indonesia sebagai Negara Kepulauan
Julukan dan postur Indonesia sebagai sebuah “Benua Kepulauan”[3] sebenarnya secara tidak langsung menggambarkan besarnya peluang bagi TIK untuk berkembang secara pesat. Mengapa demikian? Karena secara alami, negara dengan lebih dari 18,000 pulau ini pasti menghadapi kendala besar dalam hal berkomunikasi. Mengingat komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses mengalirnya informasi dari satu tempat (baca: source) ke tempat lainnya (baca: destination), maka jelas segala hal yang terkait dengan keteknologian informasi dan komunikasi menjadi mutlak diperlukan oleh negara kepulauan ini – “as information and communication become the problems of the archipelago, then the information and communication technology should be the part of solutions…”. Paling tidak terdapat 3 (tiga) peluang utama terkait dengan pengembangan dan implementasi TIK di Indonesia yang dipicu karena kondisi geografis yang unik tersebut.

Peluang pertama terkait dengan dibutuhkannya perangkat komunikasi lintas pulau yang dapat dipergunakan oleh seluruh masyarakat Indonesia untuk berbagai kebutuhan dan keperluan hidup sehari-hari, baik untuk bekerja, beraktivitas, berorganisasi, berkoordinasi, maupun berinteraksi. Dapat dibayangkan betapa besar pasar dalam negeri yang dapat digarap hanya di sektor telekomunikasi ini. Ironisnya, dari sektor hulu ke hilir, mayoritas para pemain industrinya (baca: produsen) justru berasal dari negeri asing. Lihatlah bagaimana perangkat telepon genggam seperti Nokia, Sony-Ericson, Motorolla, dan Samsung merajai pasar dalam negeri – jauh mengungguli produk-produk telepon genggam lokal dalam negeri yang sebenarnya telah dapat diproduksi anak bangsa dengan kualitas yang cukup baik. Belum lagi di sektor penyedia jasa telekomunikasi dimana sebagian besar sahamnyatelah dikuasai oleh negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Kenyataan yang menggejala ini tidaklah perlu ditangisi atau diratapi, melainkan justru baik dijadikan sebagai cambuk dalam menyusun strategi ke depan yang lebih baik. Katakanlah saat ini sudah 20% penduduk Indonesia yang memiliki telepon genggam, hal tersebut berarti bahwa masih sekitar 80% populasi dalam negeri yang belum terjangkau oleh penetrasi perangkat digital ini. Melalui jalinan kerjasama antara perguruan tinggi yang memiliki program studi elektronika dan/atau informatika dengan divisi penelitian (baca: R&D) perusahaan-perusahaan telekomunikasi lokal, pastilah dapat dikembangkan produk telepon genggam dalam negeri yang sesuai dengan kebutuhan pasar Indonesia – dengan kemungkinan potensi ekspor ke negara-negara berkembang lainnya.

Peluang kedua tumbuh dari kenyataan bahwa kondisi geografis yang ada menyebabkan terciptanya lingkungan kehidupan yang sangat heterogen. Keberagaman suku, adat, dialek, agama, ras, dan budaya di tengah-tengah lingkungan yang subur untuk melakukan kegiatan pertanian, peternakan, perkebunan, pertambangan, pelayaran, dan perdagangan ini secara langsung berakibat pada terciptanya beraneka kebutuhan yang berbeda-beda. Dalam konteks TIK, hal ini berarti bahwa setiap daerah atau komunitas basis, pasti membutuhkan model aplikasi TIK yang berbeda-beda pula.
 

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006

Dengan berasumsi bahwa setiap kecamatan memiliki keunikan tersendiri, paling tidak pasti dibutuhkan lebih dari 5,000 variasi aplikasi e-business atau e-commerce yang perlu dibangun dalam abad moderen ini. Belum lagi jika berbicara masalah implementasi konsep e-government, dimana jika disandingkan dengan konsep otonomi daerah, paling tidak akan ada lebih dari 400 variasi aplikasi di Indonesia. Mengingat bahwa setiap varian merupakan sebuah sistem informasi yang dibangun oleh ratusan bahkan ribuan modul, maka dapat dilihat seberapa besar potensial industri perangkat lunak di tanah air. Apalagi jika janji Indonesia saat meratifikasi hasil WSIS di Jenewa benar-benar ingin terpenuhi[4], maka akan lebih banyak lagi pekerjaan rumah dalam negeri yang harus ditekuni untuk satu windu mendatang.

Potensi ini masih sebatas jika perspektif yang dipakai adalah aspek geografis. Jika yang dilihat dari perspektif lainnya, seperti domain industri vertikal misalnya, maka peluang yang dimaksud akan semakin luar biasa besarnya. Karena berdasarkan perspektif tersebut, paling tidak industri TIK harus berhadapan dengan beranekaragamnya kebutuhan UKM (Usaha Kecil Menengah) yang disinyalir jumlahnya mencapai 4 juta usaha di seluruh wilayah tanah air. Atau jika berbicara aplikasi TIK bidang pendidikan seperti e-learning, maka 350,000 sekolah dasar hingga menengah umum yang dipadati oleh lebih dari 40 juta pelajar[5] dengan 4 juta guru atau pengajarnyamerupakan potensi pasar yang sudah ada di depan mata.

Peluang ketiga lahir dari kesepakatan bangsa ini untuk menjadikan Negara Kesatuan sebagai format final dari bentuk negara Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa ini. Komitmen ini berarti bahwa dibutuhkan sejumlah strategi “penyatuan” keberagaman yang ada agar dapat menjadi kekuatan besar yang bermuara pada meningkatknya daya saing bangsa. Dalam industri TIK, “persatuan dalam keberagaman ini” mengandung arti dibutuhkannya sejumlah komponen dan perangkat pendukung – seperti standar, mekanisme, prosedur, interoperabilitas, arsitektur, konten, infrastruktur, suprastruktur, organisasi, dan lain-lain – dalam tataran nasional. Kebutuhan yang bergerak secara dinamis ini menawarkan suatu pasar jasa-jasa di bidang TIK yang luar biasa potensi usahanya, karena akan sangat berkaitan erat dengan terbentuknya masyarakat berbasis pengetahuan atauknowledge-based economy yang menjadi salah satu sasaran nasional di masa mendatang.

Industri TIK yang terbentuk dari peluang ini berkisar pada jasa-jasa di bidang konsultasi, pelatihan, penelitian, pengalihdayaan (baca: outsourcing), penerapan, pengembangan, bahkan pengawasan yang keseluruhannya merupakan domain produksi berbasis sumber daya manusia (baca: pengetahuan), bukan sumber daya alam. Industri dengan value added tertinggi ini sesungguhnya dapat menjadi primadona implementasi TIK di tanah air jika benar mengelolanya. Potensi yang ada tidak perlu dipertanyakan, karena hampir setiap proyek atau bahkan event tertentu, merupakan peluang usaha tersendiri. Lihatlah ada berapa jumlah program atau proyek di kalangan pemerintahan dan/atau industri yang melibatkan komponen komputer atau informasi didalamnya, atau jadwal pelaksanaan pemilu maupun pilkada yang akan terus berjalan dari masa ke masa, atau hajatan-hajatan acara olah raga maupun seni tingkat nasional, daerah, maupun lokal yang tak berkesudahan, atau kesibukan menerima tamu-tamu internasional dalam rangka konferensi atau pun pariwisata, dan kejadian-kejadian sehari-hari lainnya. Selagi kejadian atau proyek atau program yang dimaksud membutuhkan informasi dalam pengelolaannya, maka di situ pula potensi pertumbuhan TIK mendapatkan momentumnya.

Kemandirian dalam Era Kompetisi Global
Pengertian kemandirian dalam konteks bernegara sering disandingkan dengan situasi dimana sebuah negara berhasil mengurangi atau bahkan menghilangkan sejumlah faktor ketergantungan nasib hidupnya yang berada di tangan negara lain atau entitas eksternal lain yang tidak dapat dipengaruhi. Dalam konteks globalisasi dewasa ini memang pengertian kemandirian agak sedikit bergeser mengingat sifatnya yang paradoksial dengan semangat kerjasama antar negara dalam kerangka perjanjian global. Namun paling tidak, bangsa yang mandiri – seperti layaknya sebuah keluarga – memiliki hak penuh dan kemampuan memadai dalam mengurusi kebutuhan hidup masyarakatnya sehari-hari, sebagai modal awal terselengaranya sebuah kedaulatan yang penuh. Dengan dimilikinya kondisi seperti ini, maka diharapkan ketergantungan atau campur tangan dari negara lain dapat diminimalisir sedemikanrupa. Dalam hubungannya dengan industri TIK, jelas terlihat adanya potensi kebutuhan (baca: demand) yang sangat besar di dalam negeri. Namun kondisi ini masih merupakan hitung-hitungan di atas kertas semata, karena pasar yang dimaksud masih merupakan potensi, yang belum dieskploitasi lebih lanjut menjadi peluang bisnis[6] yang nyata. Kondisi ini memperlihatkan suatu tantangan bahwa barang siapa yang berhasil melakukan proses “creating the demand” – yaitu memindahkan tingkat kebutuhan masyarakat akan TIK yang saat ini berada pada tataran periferi menjadi sesuatu yang berada dalam domain “kebutuhan pokok” – akan mendapatkan keuntungan yang besar. Di sinilah sebenarnya inti dari persaingan pada industri TIK berlangsung, yaitu antara:negara-negara luar dengan produk handal namun memiliki pengetahuan yang kurang mengenai kondisi Indonesia, melawan produk-produk dalam negeri dengan kualitas standar namun sangat paham dengan situasi masyarakat sehari-hari. Ibaratnya pertarungan antara dua buah kesebelasan sepak bola, seharusnya tim tuan rumah sangat diuntungkan dengan kondisi tersebut – namun belum tentu yang bersangkutan dapat memenangkan pertandingan yang ada!

Dua buah domain ketersediaan di atas (baca: supply) merupakan suatu kenischayaan dalam era globalisasi. Situasi kemandirian dalam industri TIK – dimana diwarnai situasi produk TIK lokal dapat menjadi “tuan rumah di negeri sendiri” – tidak dapat dibangun semata-mata dengan menyerahkannya pada mekanisme pasar atau yang oleh Adam Smith dalam buku legendarisnya “The Wealth of Nation” diserahkan kepada invisible hand. Harus ada suatu usaha tambahan dari berbagai pihak pemangku kepentingan untuk dapat menciptakan situasi kemandirian yang dimaksud.

Pendekatan “Berangkat dari Akhir”
Salah satu pendekatan efektif yang biasa dipergunakan adalah mencoba membayangkan situasi akhir yang diinginkan oleh industri TIK di tanah air – tentu saja dalam konteks kemandirian yang dimaksud. Paling tidak, setengah atau mayoritas kebutuhan akan TIK – baik berupa perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), maupun jasa-jasa (services)[7] – dapat dipenuhi dengan supply dari industri TIK lokal, atau yang bekerjasama dengan negara lain dengan proporsi komponen didominasi secara signifikan olehindustri dalam negeri. Hal ini hanya akan terjadi melalui dua cara: (i) dari segi kualitas, waktu, dan biaya, produk dan/atau jasa dalam negeri yang ditawarkan cocok/sesuai dengan kebutuhan yang ada[8]; atau (ii) ada kebijakan tertulis dari penguasa maupun komitmen tak tertulis dari komunitas untuk berpihak pada produksi TIK dalam negeri. Tentu saja kedua pendekatan tersebut ada trade-off nya masing-masing. Pendekatan pertama yang bersifat liberal akan mematikan industri TIK yang tidak bisa bersaing, sementara pendekatan kedua yang monopolistik akan mendapatkan sambutan negatif dari dunia global. Pada kondisi inilah diperlukan suatu terobosan strategi yang ampuh, yang sebenarnya dapat diciptakan melalui penggabungan kedua pendekatan terkait.

Keberpihakan terhadap industri dalam negeri di satu sisi, dengan tetap mempertahankan dan memperhatikan unsur kompetisi di pihak lain, dan tetap berada pada jalur koridor hukum maupun perjanjian global sering diistilahkan dengan pendekatan 3C (collaboration, competition, and compliance). Contohnya adalah sebagai berikut. Dari sisi compliance, industri TIK nasional tetap patuh pada aturan World Trade Organisation (WTO) atau pun perjanjian-perjanjian dagang bilateral maupun multilateral lainnya. Agar produk-produk dan jasa-jasa lokal dapat bersaing di dalam negeri, sudah saatnya pemerintah memperlihatkan “keberpihakannya” dengan cara memperhatikan secara khusus dan seksama beraneka ragam usaha-usaha komunitas masyarakat dalam berinovasi dan berkreasi. Hasil studiyang memperlihatkan adanya hubungan berbanding lurus yang positif dan signifikan antara penguasaan teknologi (TAI=Technology Achievement Index) dengan indeks perkembangan sumber daya manusia (HDI=Human Development Index) secara tegas mengatakan bahwa semakin sebuah bangsa menguasai teknologi, semakin pintar dan majulah rakyatnya. Dalam konteks collaboration, kerjasama antara ABG (baca: Academe-Business-Government) merupakan kunci penting keberpihakan stakeholder lokal akan produksi dalam negeri. Kerja keras membangun produk/jasa TIK yang tidak berkesudahan, alokasi sumber daya negara untuk mendukung riset dan pengembangan di bidang TIK, kampanye pentingnya TIK dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat,promosi kehandalan produk-produk dalam negeri, merupakan sebagian usaha yang secara konsisten dan berkesinambungan harus dilakukan oleh semua pihak dalam suasana berkompetisi yang fair. Sementara dalam perspektif competition, suasana persaingan bebas harus dijaga sedemikian rupa dengan baik, karena selain persaingan sehat akan menghasilkan produk/jasa yang prima, tentu saja tindakan resiprokal negatif dari negara lain terhadap barang-barang ekspor Indonesia tidak pula diharapkan akan terjadi.

Sumber: Perbandingan Demand vs. Supply Industri TIK


Transformasi Potensi Pasar menjadi Industri Nyata
Hal utama yang harus dilakukan saat ini, adalah membuka domain industri TIK sebesar-besarnya dan seluas-luasnya. Penekanan kata “teknologi” lebih dari kata “informasi” maupun “komunikasi” secara tidak sadar telah membatasi potensi pasar yang sebenarnya jauh lebih besar. Seluruh pihak yang berkepentingan sudah saatnya melakukan kampanye besar-besaran yang secara esensial memberikan pengertian dan pendidikan kepada masyarakat, bahwa TIK bukanlah sebuah domain industri vertikal di bidang teknologi. TIK adalah suatu industri horisontal yang mewarnai pertumbuhan dan tingkat daya saing seluruh industri yang ada di tanah air, karena pada dasarnya “informasi” dan “komunikasi” merupakan sebuah “infrastruktur bisnis” atau “infrastruktur aktivitas” keseharian manusia. Atau dengan kata lain, untuk dapat meningkatkan daya saingnya, maka industri semacam:pertambangan, pertanian, manufaktur, perbankan dan keuangan, retail dan distribusi, kesehatan, perkebunan, transportasi, hotel dan pariwisata, pendidikan, dan lain-lain – harus melibatkan TIK dalam pengelolaan atau manajemen usahanya. Artinya adalah bahwa TIK bukanlah semata-mata “dimiliki” oleh segelintir perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan produk dan jasa TIK, namun merupakan domain karya seluruh industri yang ada. TIK sebagai kumpulan produk perangkat keras, perangkat lunak, dan perangkat jasa tidak akan memiliki arti apapun tanpa adanya konteks dan konten yang diciptakan oleh industri lain.

Dalam kaitan ini, jika masing-masing industri dapat memahami nilai tambah yang diberikan TIK bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan industri terkait, maka secara langsung pasar TIK akan terbuka sedemikian lebarnya, karena:
%uFFFD     Industri Kesehatan akan memerlukan aplikasi semacam Electronic Medical Record, Tele Medicine, Hospital Information System, Emergency Support System, Patient Identification Smartcard, Billing Management System, Integrated Insurance Management System, dan lain sebagainya;
%uFFFD     Industri Transportasi akan membutuhkan berbagai sistem terkait dengan Intelligent Traffic Control, Ticketing Management, Reservation Module, Cargo Management, dan lain sebagainya; 
%uFFFD     Industri Retail dan Distribusi akan sangat mengharapkan dapat dibantu dengan sistem seperti Inventory Management, Geographical Information System, Retail Management, Network Optimisation Module,  dan lain sebagainya;
%uFFFD     Industri Pendidikan akan meningkat daya saingnya melalui implementasi E-Learning, Computer Based Training Module, Integrated Academic Information System, Mobile Learning, Library Management System, Virtual Campus, dan lain sebagainya.

Belum lagi terhitung kebutuhan generik yang pasti dibutuhkan oleh setiap industri dalam usahanya untuk meningkatkan daya saing, seperti: Accounting Management System, VoIP-Based Communication Model, e-Procurement, Intranet and Extranet, Decision Support System, Management Information System, Centralised Datawarehouse,  dan lain-lain. Dengan terbukanya pasar dan kesadaran akan daya saing tersebut, nischaya industri TIK di tanah air akan berkembang dengan pesat.

Dimulai dari Pendidikan
Kebutuhan akan beragam sistem dan aplikasi tersebut akan bermuara pada diperlukannya sumber daya manusia (baca: SDM) yang handal dan berkualitas. Paling tidak menurut definisi United Nations, ada dua tipe manusia yang dibutuhkan dalam konteks TIK, masing-masing adalah: (i) IT Workers – yang merupakan kumpulan individu dengan kompetensi dan keahlian khusus di bidang TIK, dimana tugasnya adalah melahirkan dan mengimplementasikan portofolio produk dan jasa TIK terkait; dan (ii) IT-Enabled Workers – yang merupakan kumpulan para pengguna (baca: users) TIK di bidang aktivitasnya atau aspek kehidupannya masing-masing. Darimana dapat dihasilkan SDM dengan kapabilitas seperti ini?Jawabannya ada pada sektor pendidikan, baik yang bersifat formal maupun informal.
Dengan target memenuhi komitmen pada tahun 2015 yaitu paling tidak 50% penduduk Indonesia dapat “melek internet” atau “melek TIK”[9], maka ada pekerjaan rumah besar yang harus diekerjakan oleh sektor pendidikan di tanah air, yaitu mendidik paling tidak 1 juta individu per bulan agar dapat memiliki keterampilan dalam menggunakan TIK untuk mendukung kehidupan sehari-hari.

Sumber: APJII dan APTIKOM, 2006

Sumber: Cetak Biru SDM Telematika (Depkominfo), 2006


Alasan lain mengapa harus melalui sektor pendidikan adalah karena segala strategi di atas, mulai dari keberpihakan untuk menciptakan kemandirian, kemampuan untuk mengembangkan pasar, hingga keterkaitan akan pemanfaatan teknologi dengan peningkatan Human Development Index hanya akan terjadi jika ada perubahan paradigma atau pola pikir dari setiap komponen masyarakat – mulai dari pemerintah sebagai penguasa hingga masing-masing individu sebagai bagian dari komunitas – mengenai pentingnya “informasi” dan “komunikasi” dalam setiap aspek kehidupan di era globalisasi ini. Tanpa adanya kemampuan sektor pendidikan dalam melakukan perubahan pola pikir atau “cuci otak” ini, maka mustahil keseluruhan strategi di atas dapat berjalan secara efektif.

Strategi Implementasi Perubahan
Melakukan perubahan pola pikir bukanlah merupakan hal yang mudah untuk dilakukan, karena usaha tersebut membutuhkan komitmen yang kuat, berkesinambungan, dan persistence. Teori dan konsep perubahan mengatakan diperlukannya sejumlah pra-syarat utama agar dapat berhasil. Syarat pertama adalah visi atau “shared dream” yang jelas dari seluruh komponen bangsa, sehingga keseluruhan usaha yang ada dapat menuju ke satu arah yang sama[10]. Di sinilah fungsi leadership  yang selain bertanggung jawab untuk “menyatukan”visi, juga akan menjadi faktor akselerasi pertumbuhan TIK di tanah air. Syarat berikutnya adalah kemampuan atau skills  untuk melakukan usaha menuju arah yang dicita-citakan tersebut. Di sinilah peranan sektor pendidikan akan sangat jelas terlihat dalam implementasinya. Pra kondisi berikutnya adalah dibangunnya suatu lingkungan atau sistem yang kondusif bagi pelaku industri TIK untuk berkembang pada skala nasional, sehingga seperti layaknya fungsi pupuk pada tanaman – yang tidak boleh terlalu banyak namun tidak boleh terlampau sedikit takarannya – dapat menyuburkan industri yang dimaksud di berbagai aspek kehidupan manusia. Selanjutnya adalah komitmen untuk mengalokasikan sejumlah besar sumber daya yang dimiliki bangsa untuk “menyuburkan” sejumlah inisiatif nasional TIK yang kelak akan menjadi pemicu berkembangnya sektor-sektor TIK di domain industri lain[11]. Dan yang terakhir adalah dimilikinya peta jalan atau roadmap yang memadai, baik untuk jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

SDM Telematika Indonesia
Keseluruhan ide, inisiatif, dan strategi di atas pada akhirnya akan dan harus dijalankan oleh mereka yang memiliki pemahaman dan kompetensi di bidang TIK, yaitu para lulusan perguruan tinggi informatika yang ada di tanah air. Masalah klasik tidak terciptanya lingkungan “link and match” antara lulusan perguruan tinggi dengan industri sebagai pengguna juga terjadi dalam domain ilmu TIK. Jika di perguruan tinggi, domain ilmu informatika hanya sebatas pada ilmu komputer, teknik informatika, sistem komputer, manajemen informatika, sistem informasi, dan teknologi informasi – pada industri dikenal luas beraneka ragam profesi seperti system analyst, web developer, software engineer, database designer, network specialist, dan ratusan istilah lainnya. Hal ini mengandung arti bahwa para alumni perguruan tinggiinformatika di Indonesia harus mampu mengembangkan ilmu yang dimilikinya sesuai dengan tuntutan kebutuhan dunia kerja atau industri. Dengan berbekal ilmu dasar yang telah diperoleh selama belajar di perguruan tinggi, ditambah dengan sikap positif, kemauan keras, kerja cerdas, dan berani bertindak, maka nischaya segala keinginan untuk membangun industri telematika mandiri di tanah air akan terwujud.
Suatu ketika dahulu Walt Disney pernah berkata: “if you can dream it, you can do it” – “jika anda dapat bermimpi, pasti pasti anda mampu mewujudkannya”.  Hal tersebut berlaku pula untuk generasi muda sekarang. Dimulai dari mimpi dan cita-cita, diikuti dengan tindakan nyata mengejar keinginan tersebut, sambil belajar dari pengalaman orang lain yang gagal maupun berhasil, dengan tanpa henti-hentinya berusaha untuk memberikan usaha terbaik di berbagai kesempatan, maka keberhasilan dapat dipastikan akan diraih.

Penutup
Akhirnya keseluruhan strategi yang dikembangkan dan dikemukakan di atas  hanyalah akan merupakan rencana belaka jika tidak dilakukan usaha untuk mengeksekusinya. Pepatah mengatakan “plan without an execution is merely a dream”  tetapi “execution without a plan can be a nightmare”. Indonesia memiliki mimpi. Mimpi untuk dapat kembali ke masa kejayaan dahulu, atau “back to the future”. Strategi jitu untuk menggapai mimpi menjadi bangsa yang mandiri di bidang TIK adalah segera “bangun dari mimpi” untuk bekerja keras dan bekerja cerdas, mewujudkan mimpi tersebut menjadi kenyataan.

Selamat memasuki dunia baru yang penuh dengan peluang dan tantangan. Semoga yang terbaik selalu menyertai kehidupan anda di masa mendatang…


[1] Rumusan ini untuk pertama kalinya disusun dan diajukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia dalam buku berjudul “Teknologi Informasi sebagai Pilar Pembangunan Bangsa” pada tahun 2003.
[2] Berbagai studi independen kerap menempatkan Indonesia pada ranking yang cukup rendah dalam berbagai aspek perkembangan industri TIK.
[3] The Encyclopedia of Britannica menjuluki Indonesia sebagai “the largest archipelago country in the world” yang oleh beberapa referensi diterjemahkan bebas menjadi “the archipelago continent”.
[4] Targetnya adalah bahwa pada tahun 2015, paling tidak 50% dari seluruh desa di Indonesia yang berjumlah lebih dari 62,000 itu harus terjaring atau memiliki koneksi ke internet.
[5] Sebagai catatan perbandingan, jumlah ini kurang lebih sama dengan total pelajar di seluruh benua Eropa.
[6] Pengertian kata “bisnis” di sini adalah proses atau aktivitas pertukaran barang atau jasa yang memiliki suatu nilai tertentu.
[7] Merupakan segmentasi industri TIK yang diadopsi oleh IDC (International Data Center) dalam berbagai laporan penelitiannya terhadap industri TIK di kawasan Asia Pasifik.
[8] Sesuai dengan prinsip dasar ekonomi dan bisnis yang mengacu pada pemilihan produk yang “cheaper, better, and faster”.
[9] Disandingkan dengan nuansa kata-kata “melek huruf” atau “melek baca tulis”, karena “buta huruf” dalam konteks dunia moderen diartikan sebagai “tidak memiliki kemampuan dalam mengakses dan memanfaatkan informasi untuk meningkatkan kualitas hidup sehari-hari” atau yang kerap diistilahkan sebagai e-literacy.
[10] Walaupun setiap sektor menunjukkan kinerja yang baik di bidang TIK, belum tentu secara agregasi nasional menghasilkan pertumbuhan signifikan yang sama (ingat prinsip dalam ilmu fisika yang memperlihatkan bahwa hasil penjumlahan atau resultan dari beberapa vektor dapat sama dengan nol).
[11] Pemerintah melalui Dewan TIK Nasional (Detiknas) telah menetapkan 7 national flagships di bidang TIK sebagai fokus pengembangan berskala nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar